LANGIT DAN BINTANG
"Coba tunjuk satu bintang!"
Di waktu dan tempat yang berbeda, di malam kesekian sejak diturunkannya Adam ke Bumi, dan di suasana yang berbeda, terdapat dua ras yang berbeda. Dua ras yang sejak lama bermusuhan, saling membenci, berperang dan saling menjatuhkan hanya karena hal yang sepele. Wilayah. Mungkin bagi kita ini sepele, tapi di masa itu hal sepele itu adalah hal penting yang sangat rumit.
Tetapi tulisan ini tidak akan menceritakan tentang kebencian dua ras tersebut, melainkan tentang cinta. Cinta dari dua ras yang berbeda, yang saling bermusuhan itu. Cinta yang tulus, jernih. Cinta yang tidak memandang ras, tidak melihat masa lalu, dan tidak memedulikan kondisi fisik.
Jangan tanyakan apa itu cinta pada mereka. Karena mereka pun tidak tahu bagaimana mereka bisa jatuh cinta. Mereka saling mengisi, saling mendukung dan saling membangun dengan tulus dan jujur. Mereka adalah cinta itu sendiri. Mereka adalah bukti bahwa cinta adalah perbuatan, kata-kata manis dan rayuan hanyalah omong kosong. Karena kebenarannya mereka tidak bisa melihat, dan mereka tidak saling mengetahui satu sama lain jika mereka tidak bisa melihat.
"Hai."
"Hai."
"Siapa kamu?"
"Aku Bintang (bukan nama sebenarnya). Kamu?"
"Aku Langit (juga bukan nama sebenarnya)."
Percakapan pertama mereka terjadi di dalam sebuah bangunan tua. Ketika malam peperangan, si pria-Langit, terpisah dari rombongan karena dia tidak bisa melihat. Dia tidak bisa bergerak cepat karena tidak bisa melihat. Jadilah dia sekarang bersembunyi di dalam bangunan tua itu yang ternyata adalah rumah dari si wanita-Bintang.
Rumah itu sudah lama tidak diurus. Kedua orang tua Bintang gugur di medan perang. Tetapi dia tidak pernah tahu. Keluarga Bintang tidak mempunyai kerabat dekat, sehingga tidak ada yang memberi tahu Bintang bahwa kedua orang tuanya telah gugur. Jadilah Bintang sendiri bertahan hidup di rumahnya. Dia tetap menunggu kedua orang tuanya pulang. Orang tuanya telah memberi pesan kepadanya agar tidak meninggalkan rumah terlalu lama, dan kedua orang tuanya juga telah berjanji bahwa mereka akan pulang, cepat atau lambat. Bintang tetap bertahan pada janjinya dan percaya kepada kedua orang tuanya. Walaupun kenyataan sebenarnya tidak menyenangkan.
"Mau apa Langit datang ke sini?" tanya Bintang.
"Kenapa juga Bintang ada di sini?" Langit balik bertanya.
"Karena tempat Bintang di sini."
"Apa boleh Langit tetap di sini?"
"Tentu."
"Yakin?"
"Tentu. Langit ada untuk menemani Bintang."
"Apa Bintang akan pergi?"
"Tidak. Bintang tidak akan meninggalkan Langit."
"Terima kasih."
"Untuk apa?"
"Terima kasih untuk tidak pergi meninggalkan Langit. Karena Langit akan terasa sepi tanpa adanya Bintang."
Mereka tersenyum. Walaupun satu sama lain dari mereka tidak bisa melihat senyum manis dan paling tulus itu, tetapi mereka tetap tersenyum untuk meyakinkan.
Seperti itu percakapan perkenalan mereka. Singkat, namun penuh arti.
Percakapan berikutnya hanya diisi tentang bagaimana kehidupan mereka, percakapan tentang masa depan, tentang impian mereka satu sama lain, dan tentang kebiasaan mereka. Mereka tidak pernah menanyakan tentang ras, tentang masa lalu, dan tentang kondisi fisik. Mereka juga tidak pernah menyinggung bahwa mereka itu tidak bisa melihat. Bagi mereka itu tidak penting, dan mereka tidak peduli. Tidak penting bagaimana masa lalu satu sama lain dan tidak peduli bagaimana kondisi fisik satu sama lain. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana satu sama lain dari mereka sekarang, dan bagaimana satu sama lain dari mereka di masa yang akan datang.
Di waktu berikutnya mereka hidup saling mengisi dengan caranya masing-masing. Mereka selalu punya cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan. Tentunya, di balik kekurangan selalu ada kelebihan.
Mereka berkebun. Menanam tanaman jagung dan kentang. Mereka beternak. Ayam dan itik. Dan mereka juga mempunyai kebiasaan. Tiap malam, sebelum tidur, setelah lelah seharian bekerja, mereka duduk di atap rumah, menatap langit. Selalu melakukan hal yang sama, "memetik bintang".
"Coba tunjuk satu bintang, Langit!" seru Bintang.
Langit meletakan ujung telunjuk tangannya di pipi Bintang sambil tersenyum.
"Bukan aku. Maksudku bintang yang ada di langit."
Langit tertawa pelan, kemudian menunjuk ke arah langit.
"Yakin yang itu?" tanya Bintang.
Langit mengangguk pelan.
"Aku bisa memetik bintang itu, Langit."
"Sungguh?" tanya Langit antusias.
Bintang mengangguk. "Mau aku petikan untukmu, Langit?"
Bintang mengangkat kedua tangannya, kemudian mempertemukannya satu sama lain seperti gerakan menangkap nyamuk.
"Hei, kemana bintang itu pergi?" tanya Langit.
"Dia ada di sini." Bintang membuka tangannya. Dan terlihat cahaya kecil, terang kebiruan cantik.
"Bagaimana kamu melakukannya?" tanya Langit.
"Dulu, Ayahku pernah bilang 'Hal yang sulit sekalipun, yang terlihat mustahil sekalipun, jika kamu yakin dan bersungguh-sungguh, pasti bisa dilakukan'. Kemudian aku melakukan ini bersama Ayah, dan berhasil. Ayah bilang bintang ini sangat cantik."
Langit tersenyum. "Iya, Bintang memang sangat cantik."
"Tetapi Ayah tidak mengizinkanku untuk menyimpannya dan menyuruhku untuk mengembalikannya ke langit."
"Kalau begitu kembalikanlah. Letakan bintang ini di langit seperti semula. Biarlah bintang tetap bersama langit."
"Kamu juga tidak mengizinkanku untuk menyimpannya?" tanya Bintang, cemberut.
Langit menggeleng pelan.
"Kenapa?" tanya Bintang.
"Karena Bintang hanya untuk Langit. Dan biarlah mereka selalu bersama-sama. Jangan pisahkan Bintang dengan Langit."
"Baiklah." Bintang mengangkat tangannya, kemudian meletakan bintang tersebut kembali ke langit.
Dan begitu seterusnya pada malam-malam berikutnya. Singkat, namun sangat berarti. Singkat, namun romantis. Singkat, namun sulit untuk dilupakan.
"Coba tunjuk satu bintang!" seru Bintang.
Langit menunjuk ke arah langit.
"Kamu yakin?"
Langit mengangguk.
"Aku akan memetik bintang itu untukmu."
Singkat, namun tulus.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, dan bulanpun berganti tahun. Bertahun-tahun Langit dan Bintang hidup bersama. Bertahun-tahun Langit dan Bintang saling mencintai. Dan sudah beribu kali, tiap malam, kejadian singkat dan romantis itu terjadi. Tidak ada yang merasa bosan, tidak ada yang mengeluh. Satu-dua salah paham diselesaikan dengan pembicaraan hangat. Satu-dua pertengkaran diselesaikan dengan kepala dingin. Satu-dua masalah diselesaikan tanpa berlarut-larut berkepanjangan.
Kadang Langit yang mengalah, kadang Bintang-pun ikut mengaku salah. Karena bagi mereka pertengkaran dalam hubungan itu biasa. Bagai masakan, jika tanpa bumbu tidak akan terasa sedap. Pun jika terlalu banyak bumbu, juga tidak akan terasa sedap.
Sampai suatu hari, istana kecil mereka diketahui oleh sekelompok orang yang satu ras dengan Langit. Kehidupan sederhana mereka tercium karena terdapat ras musuh di kediaman mereka. Bintang.
"Aku mohon jangan bawa dia! Bawa saja aku!" Langit memohon kepada orang-orang itu, dia berdiri di depan Bintang, melindungi.
"Kamu itu satu ras dengan kami. Lagi pula kami tidak akan membawa dia, kami ingin membunuhnya." kata salah seorang dari sekelompok orang itu.
"Kalau begitu bunuh saja aku!" Langit masih memohon.
"Untuk apa kami membunuhmu? Justru kami ingin melindungi kamu. Sekarang minggir! Lagi pula kenapa kamu melindunginya? Dia itu musuh. Kenapa pula kamu hidup bersamanya? Apa kamu pengkhianat? Kamu ingin berkhianat, hah?!"
"Ini tidak ada urusannya dengan kalian. Kami tidak mengganggu kalian, dan aku tidak meminta perlindungan kalian. Kami saling mencintai dengan tulus, dan kami tidak peduli berasal dari ras mana kami." kata Langit mantap.
Salah satu dari sekelompok orang itu mendorong Langit ke samping. Kemudian menyiapkan senapan mereka.
Dor!
Langit melompat ke depan Bintang, melindungi. Peluru tepat menembus perut Langit.
"Langit!" teriak Bintang, matanya berkaca-kaca. Dia sudah menangkap Langit yang jatuh ke pangkuannya.
"Ada apa? Kamu terlihat khawatir sekali?" Langit mengelus pipi Bintang.
"Jangan pergi!"
"Langit tidak mungkin meninggalkan bintang."
"Sudah, kita bunuh saja mereka berdua!" salah seorang dari sekelompok orang itu berseru.
"Aku mencintaimu." Langit dan Bintang berkata hampir bersamaan.
Pada akhir hayatnya pun mereka tidak mengetahui nama asli dari satu sama lain. Tidak mengetahui asal-usul masa lalu dari satu sama lain. Bahkan tidak mengetahui bahwa mereka buta dari satu sama lain. Mereka hanya saling percaya. Mereka akan berkata jujur jika ada yang bertanya. Tetapi, tidak ada yang bertanya pada satu sama lain. Mereka hanya saling percaya.
Tentu kebiasaan "memetik bintang" itu tidak nyata, bukan sungguhan, tidak benar-benar memetik bintang. Pada masa lalu, Ayah Bintang berbohong untuk menghibur Bintang. Pun sama dengan Langit. Namun bedanya, Langit percaya bahwa Bintang bisa memetik bintang, karena Langit tidak bisa melihat. Begitu juga Bintang, percaya bahwa Langit benar-benar melihatnya sedang memetik bintang.
Langit dan Bintang kini tetap bersama, di surga sana. Kali ini mereka bisa melihat satu sama lain. Begitu juga cinta mereka, tetap abadi, selamanya. Seperti langit dengan bintang yang tidak akan berpisah, selalu bersama.
TAMAT
Comments
Post a Comment